Put First Thing First: Mengapa Harus Minta Izin Dulu?
Dalam hidup sehari-hari, kita sering dihadapkan pada pilihan-pilihan sederhana yang bisa jadi kita anggap sepele: memakai barang orang lain tanpa bilang dulu, menebang pohon liar di halaman kosong, atau mengunggah foto teman ke media sosial tanpa bertanya. Tapi dari ketiga hal ini, benang merahnya satu: izin. Mengapa hal sekecil “minta izin” bisa menjadi prinsip besar? Di sinilah pentingnya menempatkan hal yang utama di tempat pertama — Put First Thing First.
Kenapa Hal Kecil Dibesar-besarkan?
Dalam banyak ajaran agama, meminta izin bukan sekadar sopan santun, tapi bagian dari adab spiritual. Dalam Islam, adab meminta izin dijelaskan dalam Al-Qur’an:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya...” (QS. An-Nur: 27).
Ayat ini bukan hanya bicara tentang etika bertamu, tapi menggambarkan prinsip lebih dalam: setiap tindakan harus diawali dengan penghormatan kepada ruang dan hak milik orang lain.
Dalam tradisi Kristen, prinsip free will dan kasih menjadi landasan. Memberi atau meminta izin adalah bentuk penghargaan terhadap kebebasan dan martabat sesama. Sedangkan dalam ajaran Hindu dan Buddha, segala tindakan dianggap punya konsekuensi karma. Maka, bertindak tanpa izin sama artinya dengan melangkahi harmoni yang telah ditata.
Maka, dari kacamata religius, meminta izin adalah sikap merendah di hadapan Tuhan dan manusia, sebuah bentuk pengakuan bahwa kita tidak bisa (dan tidak boleh) bertindak semaunya di dunia yang bukan milik kita sendiri.
Belajar dari Peristiwa: MeToo Movement
Gerakan ini mengungkap betapa banyak relasi kerja dan sosial diwarnai pelecehan yang dilakukan tanpa persetujuan. Akarnya satu: tidak adanya consent, atau izin, yang semestinya menjadi dasar dalam interaksi manusia.
Sosiolog Emile Durkheim menyebut bahwa masyarakat hidup dari kesadaran kolektif — seperangkat nilai dan norma yang dijunjung bersama. Itulah yang tadi disebut, salah satu norma dasar itu adalah consent atau persetujuan.
Ketika kita melangkah tanpa izin, kita mencederai struktur kepercayaan yang menjadi dasar hubungan sosial. Ambil contoh dalam lingkungan kerja: menggunakan dokumen atau ide meruntuhkan kepercayaan.
Dalam ruang publik, meminta izin adalah cara menjaga batas antara pribadi dan komunal. Ini yang disebut sosiolog Erving Goffman sebagai “front stage behavior” — bagaimana kita menjaga citra sosial dengan memainkan peran sesuai norma. Dalam dunia digital, tindakan seperti reposting, tagging, atau screenshooting tanpa izin juga berimplikasi serupa: pelanggaran terhadap otonomi identitas orang lain.
Maka, izin bukan sekadar basa-basi, melainkan mekanisme sosial untuk mengatur ruang bersama agar tak saling tindih dan rusak.
Seperti Kata Chief Seattle
Mengutip dari Wikipedia, Chief Seattle adalah Kepala suku Sealth, kini lebih dikenal sebagai Kepala suku Seattle. Ia hidup antara tahun 1786 sampai dengan 1866, memimpin suku Suquamish dan Duwamish di wilayah yang kini merupakan Washington di Amerika Serikat. Ucapannya yang terkenal: “The Earth does not belong to us. We belong to the Earth.”
Meminta izin pada alam bukan lelucon spiritual, tapi sikap hidup yang menunjukkan kita sadar: kita bukan pemilik, hanya penumpang sementara di bumi ini. Kelihatannya aneh: minta izin kepada alam? Tapi itulah yang dilakukan oleh banyak masyarakat adat sebelum berburu, memanen, atau menebang pohon. Mereka percaya bahwa alam adalah entitas hidup yang harus dihormati, bukan dieksploitasi seenaknya.
Dalam pandangan ekologis modern, prinsip ini dikemas dalam istilah environmental stewardship — tanggung jawab manusia untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Filosof Arne Naess bahkan menyebut pentingnya deep ecology, sebuah pendekatan yang memandang semua makhluk hidup memiliki nilai intrinsik, terlepas dari kegunaannya bagi manusia.
Ketika kita mengeksploitasi sumber daya alam tanpa “izin” — yang berarti tanpa pertimbangan keberlanjutan atau dampaknya bagi makhluk lain — kita sedang merusak harmoni yang telah berlangsung ribuan tahun. Izin dalam konteks ini bisa diterjemahkan menjadi studi dampak lingkungan, konsultasi publik, atau sekadar kehati-hatian sebelum bertindak.
Karena Kita Mahluk yang Berpikir
Secara filosofis, tindakan meminta izin mengandung dua hal penting: kesadaran akan keterbatasan diri dan pengakuan atas eksistensi pihak lain. Martin Buber, seorang filsuf eksistensialis, menjelaskan hubungan manusia dalam dua bentuk: I-It (aku dan benda) dan I-Thou (aku dan engkau). Ketika kita meminta izin, kita sedang membangun relasi “I-Thou” — relasi sejajar, saling menghargai.
Dalam konteks ini, Put First Thing First berarti menempatkan relasi dan penghargaan sebagai fondasi sebelum tindakan. Menyadari bahwa dunia tidak hanya dihuni oleh “aku” — ada “engkau”, ada “mereka”, ada “itu”. Dengan begitu, setiap keputusan bukan soal boleh atau tidak, tapi layak atau tidak, bijak atau tidak.
Mau Hidup Bersama Gak?
Dalam zaman serba cepat dan individualistik, meminta izin sering dianggap lambat, ribet, atau bahkan tidak penting. Tapi justru di situlah letak persoalan kita hari ini: kehilangan kepekaan terhadap batas dan hak sesama.
Dengan meminta izin sebelum bertindak, kita sedang melakukan sesuatu yang revolusioner: mengakui bahwa hidup ini bukan hanya tentang kehendak kita, tapi tentang menghormati tatanan, relasi, dan keberlangsungan.
Aris Munandar. Founder Rumah Matahari Pagi, edukator, homeschooling activist, literacy coach, dan penulis.
Tidak ada komentar