Mahluk Apa Pendidikan Bermutu Itu?


 

Mengapa Kita Harus Bertanya Ulang?

Setiap tahun, pada 2 Mei, bangsa ini merayakan Hari Pendidikan Nasional — momen sakral yang konon menjadi refleksi atas cita-cita Ki Hadjar Dewantara: memanusiakan manusia melalui pendidikan. Namun, di tengah gegap gempita slogan “Pendidikan Bermutu”, kita jarang bertanya secara serius: makhluk apa sebenarnya pendidikan bermutu itu? Apakah ia sekadar angka-angka dalam rapor PISA? Apakah ia hanya berbentuk teknologi canggih, sistem manajerial rapi, atau kurikulum yang terdengar futuristik?

Secara global, pendidikan menghadapi krisis yang multidimensi: learning poverty yang membekap 70% anak-anak di negara berkembang, stagnasi kompetensi dasar, dan ketimpangan akses yang kian akut. Laporan UNESCO dan World Bank menunjukkan bahwa sistem pendidikan saat ini gagal membekali peserta didik dengan kemampuan dasar memahami, berpikir, dan hidup bersama. Di tengah tantangan abad ke-21 — disrupsi teknologi, krisis iklim, dan ketidakpastian ekonomi — pendidikan justru menjadi ruang reproduksi ketimpangan baru.

Pendidikan diakui sebagai hak asasi manusia, dan fondasi dari pembangunan berkelanjutan. Namun ironisnya, semakin sering kata “bermutu” disematkan, semakin kabur pula substansinya. Maka, kita perlu mengupas ulang: apakah mutu itu sekadar memenuhi indikator global, atau ada dimensi kemanusiaan yang lebih hakiki dan sering terabaikan?

 

Krisis Global yang Disapih Data

Ketika PISA, TIMSS, dan SDG 4 menjadi tolok ukur mutu pendidikan global, wajah sebenarnya dari sistem pendidikan dunia mulai terkuak. Laporan OECD menunjukkan bahwa sebagian besar negara — terutama negara berkembang — belum mampu memastikan bahwa murid usia 15 tahun memahami bacaan sederhana atau mampu menyelesaikan soal matematika dasar. Fenomena learning crisis bukan lagi isu pinggiran, melainkan pusat dari kegagalan sistemik pendidikan dunia.

Pandemi COVID-19 menjadi katalis kehancuran sementara dan permanen. Jutaan siswa kehilangan akses belajar, khususnya mereka yang berasal dari keluarga miskin dan wilayah tanpa infrastruktur digital. Tingkat drop-out melonjak, dan teknologi yang diharapkan menjadi penyelamat justru menciptakan jurang baru antara yang terhubung dan yang terpinggirkan.

Namun yang lebih memprihatinkan adalah bagaimana data-data ini menjadi alat pembenaran proyek teknokratis yang jauh dari konteks sosial dan kultural masyarakat. Mutu disamakan dengan performa skor. Kebijakan didikte dari grafik, bukan dari suara guru, anak, atau komunitas.

 

Indonesia dan Mimpi yang Tak Pernah Utuh

Indonesia tidak sepenuhnya gagal — akses pendidikan dasar telah meluas, dan proyek reformasi terus digulirkan. Tapi di balik statistik partisipasi, ada kenyataan pahit: mutu masih tertinggal jauh. Skor PISA Indonesia menempatkan siswa kita di peringkat terbawah dunia dalam literasi, numerasi, dan sains. Itu bukan sekadar skor, tapi refleksi dari sistem yang gagal memerdekakan pikiran anak-anak.

Ketimpangan antarwilayah, guru yang belum siap, serta kurikulum yang tidak adaptif memperkuat kegagalan struktural kita. Pandemi hanya memperbesar luka yang lama: siswa belajar seadanya, guru terbebani administrasi, dan sekolah berjalan seperti pabrik.

Pemerintah menggulirkan proyek transformasi: tata kelola guru diperbaiki, kurikulum diperbarui dengan deep learning, tes kompetensi, hingga pengenalan AI dan koding sejak dini. Bahkan secara pedagogis, diusung 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat. Tapi lagi-lagi, kita harus bertanya: apakah semua itu menjawab kebutuhan belajar anak Indonesia hari ini? Ataukah kita sedang menambal kapal bocor dengan kertas berwarna?

 

Mutu: Makna yang Terus Terdesak

Mutu pendidikan tidak bisa direduksi menjadi angka. Sayangnya, itulah yang terus terjadi. Nilai-nilai seperti keadilan, kebermaknaan, dan relasi sosial sering tidak tercermin dalam laporan akhir atau paparan proyek nasional. Pendidikan bermutu seolah hanya milik mereka yang lulus tes, bukan mereka yang tumbuh utuh.

Mutu seharusnya dilihat sebagai praktik sosial. Bukan hanya soal apa yang diajarkan, tapi bagaimana, oleh siapa, dan untuk siapa. Pendidikan bermutu menciptakan ruang di mana anak boleh bertanya, salah, berimajinasi, dan menjadi dirinya sendiri. Dalam ruang itu, guru bukan sekadar penyampai materi, tapi mitra tumbuh yang manusiawi dan reflektif.

Budaya belajar lokal, nilai kearifan, dan relasi sosial sering kali lebih menentukan mutu daripada standar global. Di banyak komunitas adat atau kampung-kampung literasi, mutu hidup hadir tanpa indikator PISA. Maka, siapa yang sebenarnya punya hak mendefinisikan “bermutu”?

 

Menata Ulang Jalan Perubahan

Perubahan pendidikan tidak boleh hanya datang dari atas. Kebijakan yang berakar dari lokalitas, yang menghormati ragam budaya dan kebutuhan sosial, lebih berpotensi membawa transformasi sejati. Kita tidak butuh tiruan Finlandia atau Singapura — kita butuh Indonesia yang merdeka dalam berpikir dan bertindak.

Guru adalah kunci. Tapi selama mereka tidak didengar, tidak dilindungi, dan tidak diberdayakan secara otonom, maka pendidikan bermutu hanyalah jargon. Investasi pada guru harus mencakup pelatihan yang bermakna, kesejahteraan yang layak, dan kebebasan untuk bereksperimen secara pedagogis.

Lebih dari itu, pendidikan bermutu butuh ekosistem yang mendukung: akses internet merata, ruang kelas yang aman dan menyenangkan, bahan ajar yang kontekstual, dan ruang partisipasi keluarga serta komunitas. Kehadiran TBM sebagai bentuk inisiatif akar rumput harus menjadi bagian integral dari sistem. Kita perlu kembali pada visi Ki Hadjar Dewantara: pendidikan sebagai alat pembebasan, bukan penyeragaman.

 

Membangun Makhluk Bernama Harapan

Di Hari Pendidikan Nasional ini, mari kita berhenti sejenak dan bertanya: pendidikan seperti apa yang sedang kita bangun? Apakah kita sedang menciptakan makhluk sosial yang berdaya, atau sekadar mesin skor yang patuh? Pendidikan bermutu bukan soal seberapa canggih sistem kita, tetapi seberapa dalam kita memahami anak-anak dan dunia mereka.

Kita perlu keberanian kolektif untuk memaknai ulang pendidikan bermutu — bukan sebagai proyek institusional, melainkan gerakan sosial. Ini adalah panggilan bagi guru, orang tua, pembuat kebijakan, dan warga negara: bangun pendidikan dari empati, bukan kompetisi; dari refleksi, bukan prestise.

Karena pada akhirnya, mutu pendidikan adalah cerminan mutu kemanusiaan kita. Dan jika kita gagal membentuk pendidikan yang manusiawi, kita sedang membentuk masa depan yang kehilangan jiwa.

 

Aris Munandar. Founder Rumah Matahari Pagi, edukator, homeschooling activist, literacy coach, dan penulis.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.